MESKI kopi tubruk mungkin mulai tergeser, sebenarnya bukan berarti cara
penyajian kopi di Tanah Air kehilangan keunikannya. Di berbagai tempat,
kedai-kedai kopi tumbuh. Mereka tidak sekadar menjiplak gaya minum kopi
dari Barat, tetapi juga membuat kreativitas dan kisahnya sendiri.
Salah
satunya ialah tempat minum kopi di lantai dua Gedung Pusat Studi
Lingkungan Hidup Universitas Sanata Dharma, Sleman, DIY. Di ruang seluas
sekitar 80 meter persegi itu terdapat sebuah meja panjang dengan
deretan stoples kopi dan delapan kursi di hadapannya.
Meski
ruangan masih cukup untuk belasan bahkan puluhan kursi lainnya,
Firmansyah, pemilik tempat ngopi itu, tidak akan menambah 'pasiennya'.
Disebut 'pasien' karena begitu memasuki ruangan itu pengunjung memang
layaknya menghadap dokter.
Sebelum membuatkan kopi, Firmansyah
akan bertanya kepada pembeli tentang kopi yang sehari-hari mereka minum,
termasuk rasa kopi yang disukai hingga penyakit yang biasa dirasakan
saat minum kopi. “(Minuman) kopi itu personal. Saya harus merekam
selera pembeli yang datang karena setiap orang beda-beda. Karakter
lambungnya orang beda-beda,†terang pria yang akrab disebut Pepeng
itu. Pria 33 tahun itu pun menamakan kedai kopinya sebagai Klinik Kopi.
Setelah
mendapatkan gambaran selera dan kondisi tubuh pembeli, Pepeng akan
meracik menggunakan berbagai jenis kopi Nusantara, seperti gayo,
temanggung, kintamani, hingga wamena. Bubuk kopi dimasak dengan alat
modern yang sekaligus memisahkan ampas kopi.
Pepeng menyajikan
seluruh kopinya tanpa gula. “Kopi dan gula memperberat kerja ginjal.
Bayangkan, dalam segelas kopi, ada kopi dan gula, kemudian diminum
ginjal akan bekerja sekitar tiga kali lipat hanya untuk mencerna kopi
dan gula,†terangnya memberikan alasan.
Layaknya dokter, Pepeng
juga dikenal jitu membuat 'resep' kopi bagi pasiennya. Hal itu dialami
pula oleh Dani, yang pada awalnya datang hanya untuk melihat. Ayah satu
anak itu menghindari kopi karena selalu merasa mulas jika meminum kopi
merek apa pun.
Namun, malam itu Pepeng berhasil membujuknya dan
membuatkan kopi yang tetap nyaman di perutnya. "Saya sendiri heran kok
enggak mulas," ujar Dani.
Tidak hanya jumlah pengunjung yang
dibatasi, para 'pasien' itu pun tidak diperkenankan merokok. Cara
menikmati kopi ala Pepeng memang layaknya sebuah ritual khusyuk.
Demi
menyesap kenikmatan kopi dengan sempurna, pengunjung harus
berkonsentrasi pada hidangan di gelas itu. Merokok, membaca, atau
aktivitas kongko lainnya seperti yang ada di banyak kedai kopi, bagi
Pepeng, justru mengganggu menikmati kopi.
Pepeng baru akan riang
hati melayani obrolan tentang kopi. Namun, itu pun hanya berlangsung
sekitar 15 menit. Setelah itu, baik kopi telah tandas ataupun tidak ia
akan menarik gelas.
Menurutnya, lewat dari 15 menit kopi sudah
tidak nikmat. Namun, tampaknya aturan itu juga keharusan mengingat
antrean di luar ruangan. Meski baru berdiri Juli, Pepeng dan kisah
kopinya sudah cukup dikenal di pecinta kopi Yogyakarta.
Seperti
di Yogya, di Kota Banda Aceh juga terdapat kedai kopi dengan penyajian
unik. Kedai kopi Solong Coffee yang telah berdiri sejak 1974 terkenal
dengan kopi yang disebut Ulee Kareng.
Cara penyajian kopi itu
dimulai dengan penyangraian kopi selama 3 jam di atas bara api dari kayu
bakar pilihan. Sebelumnya, biji-biji kopi pilihan disimpan terlebih
dulu selama empat bulan.
Penyeduhan kopi pun dilakukan dengan
cara unik, yakni kopi mendidih dimasukkan ke kain putih yang berfungsi
sebagai saringan. Kemudian, sang barista mengangkat tinggi-tinggi
sehingga cairan kopi yang menetes dari ujung kain akan tertampung ke
dalam gelas hingga mengeluarkan buih berwarna karamel keemasan. Secara
tak langsung, teknik itu menghilangkan ampas kopi.
"Teknik ini
sudah dipakai sejak dulu. Pernah pakai cara lain, tapi hasilnya
berbeda," kata Nurdin, seorang pegawai Solong Coffee, beberapa waktu
lalu.
Ketepatan waktu pengangkatan kain dan penuangan kopi ialah hal mutlak sehingga aroma dan rasa tiap kopi tetap terjaga dan sama.
Kopi
Ulee Kareng digemari warga biasa hingga pejabat. Saat bencana tsunami
melanda Aceh pada 2004, kedai kopi itu pun menjadi tempat berkumpul
wartawan dari berbagai penjuru dunia. (AT/Pol/M-4)
Sumber:
Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013